METODE
DETEKSI KEBUNTINGAN PADA
TERNAK
SAPI
`Terjadinya berahi pertama pada sapi berbeda menurut
spesies dan kualitas pakan yang diberikan. Toelihere (1981) menyatakan bahwa
dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur
10 sampai 15 bulan. Sapi potong dan sapi perah yang kurang baik pertumbuhannya
baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18 sampai 24 bulan. Hal ini berarti
bahwa sapi sudah dapat melahirkan anak pertama kali umur 27 bulan dan
selambat-lambatnya pada umur 33 bulan.
Menurut
Djanah (1984), cara yang paling tepat untuk menentukan umur ternak adalah
dengan melihat catatan kelahirannya, namun apabila catatan kelahiran itu tidak
ada, maka umur ternak dapat diperkirakan dengan melihat pertukaran giginya, selanjutnya
umur ternak sapi dapat diperkirakan dengan melihat cincin tanduk, namun cara
ini kurang akurat dan hanya dapat dilakukan pada sapi yang memiliki tanduk,
sehingga cara ini jarang dipakai.
Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting
bagi sebuah manajemen Reproduksi, Metoda deteksi kebuntingan dapat secara
klinik dan imunologi , Pemilihan metoda tergantung pada spesies, umur
kebuningan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa. Secara umum, diagnosa
kebuntingan dini diperlukan untuk Mengindentifikasi ternak yang tidak bunting
segera setelah perkawinan atau IB sehingga waktu produksi yang hilang karena
infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat, Sebagai pertimbangan apabila ternak
harus dijual atau di culling Untuk menekan biaya pada breeding
program yang menggunakan teknik hormonal yang mahal dan Membantu manajemen
ternak yang ekonomis (Jainudeen and Hafez, 2000)
Pertama Metoda klinis, metoda ini tergantung deteksi pada konseptus-fetus,
membran fetus dan cairan fetus. Metoda ini meliputi eksplorasi rektal dan
teknik ultrasonografi. Eksparasi Rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang
dapat dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya
adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang
terjadi selama kebuntingan, fetus atau membran fetus Sempitnya rongga pelvic
pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus
tidak dapat dilakukan (Arthur, et al., 1996). Ultrasonography merupakan alat
yang cukup modern, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kebuntingan pada
ternak secara dini. Alat ini menggunakan probe untuk mendeteksi adanya
perubahan di dalam rongga abdomen. Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan
bentuk dan ukuran dari cornua uteri. Ada resiko kehilangan embrio pada
saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan pobe. Pemeriksaan kebuntingan
menggunakan alat ultrasonografi ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan
antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas 30 hari (
Youngquist, 2003).
Ada
dua tipe ultrasonografi yang digunakan pada manusia dan kedokteran hewan
yaitu fenomena Doppler transducer atau
probe, ketika diaplikasikan pada dinding
abdominal atau dimasukkan ke dalam rektum, akan memancarkan cahaya gelombang
frekuensi tinggi (ultrasonic). Pergerakan jantung fetus dan aliran darah dalam
fetus (pembuluh umbilical) serta sirkulasi maternal (arteri uterina) merubah
frekuensi gelombang dan memantul kembali ke probe dan dikonversi ke suara yang
dapat terdengar. Sedang pada pulse-echo ultrasound getaran ultrasound yang
digerakkan oleh kristal piezoelectric dalam transducer ketika kontak dengan
jaringan akan memantul kembali ke transducer kemudian dikonversi ke dalam
energi elektrik dan diidsplay pada osciloscope.
Tabel
1. Diagnosa
kebuntingan pada sapi, kerbau dan kuda dengan palpasi rektal.
Species
|
Umur
Kebuntingan (Bulan)
|
Perubahan
yang terjadi
|
Sapi dan
Kerbau
|
Pertama
|
Uterus statis
dengan CL yang tumbuh pada satu ovarium
|
Kedua
|
Pembesaran
tanduk uterus karena adanya cairan fetus
|
|
Ketiga
|
Uterus mulai
turun, fetus teraba
|
|
Keempat-
ketujuh
|
Uterus berada
pada lantai abdominal, fetus sulit diraba, cotyledon : diameter 2-5 cm teraba
pada dinding uterus, arteri uterina media hypertrofi dan terjadi fremitus
|
|
Ketujuh - menjelang lahir
|
Cotyledon,
fremitus dan bagian dari fetus dapat diraba
|
|
Kuda
|
Pertama
|
Cervix
kontraksi dan statis, tanduk uterus membengkak
|
Kedua
|
Kantong
chorioallantois pada bagian sepertiga bawah ventral tanduk uterus, tanduk
uterus membengkak
|
|
Ketiga
|
Kantong
chorioallantois berkembang cepat dan turun ke badan uterus. Uterus mulai
turun
|
|
Keempat
|
Permukaan
dorsal uetrus teraba seperti kubah menggembung. Fetus dan bagian fetus teraba
|
|
Kelima –
Ketujuh
|
Uterus
terletak jauh di dasar rongga abdominal
|
|
Ketujuh
-menjelang
|
Fetus lebih
mudah teraba. Uterus mulai naik
|
(Sumber
: Jainudeen and Hafez, 2000)
Kedua adalah Teknik Imunologik yang digunakan
untuk diagnosa kebuntingan berdasarkan pada pengukuran level cairan yang berasal
dari konseptus, uterus atau ovarium yang memasuki aliran darah induk, urin dan
air susu. Test imonologik mengukur dua macam cairan yaitu: Pregnancy Specific
yg hadir dalam peredaran darah maternal : eCG dan EPF, dan Pregnancy Not
Specific, perubahan-perubahan selama kebuntingan, konsentrasi dalam darah
maternal,urin dan air susu, contoh : progesteron dan estrone sulfate.
Ketiga Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon kebuntingan
dalam cairan tubuh dapat dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda
yang menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada
ternak lebih dini dibandingkan dengan metoda rektal (Jainudeen dan Hafez,
2000). Misalnya pada Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan
karena CL hadir selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Level
progesteron dapat diukur dalam cairan biologis seperti darah dan susu ,
kadarnya menurun pada hewan yang tidak bunting. Progesteron rendah pada saat
tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting. Test pada susu lebih
dianjurkan dari pada test pada darah, karena kadar progesteron lebih tinggi
dalam susu daripada dalam plasma darah Sample susu ditest menggunakan radio
immuno assay (RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi.
Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan sore
hari. Bahan preservasi seperti potasium dichromate atau mercuris chloride
ditambahkan untuk menghindari susu menjadi basi selama transportasi ke
laboratorium. Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan
fasilitas laboratorium dan hasilnya harus menunggu beberapa hari.
Estrone sulphate
adalah derifat terbesar estrogen yang diproduksi oleh konseptus dan dapat
diukur dalam plasma maternal, susu atau urine pada semua species ternak. Estrone
sulphate dapat dideteksi dalam plasma lebih awal pada babi ( hari ke 20) dan
kuda (hari ke 40), dibandingkan pada domba dan kambing (hari ke 40 sampai 50)
atau sapi (hari ke 72). Kedua level hormon baik estrone sulphate maupun eCG
dapat digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan pada kuda setelah hari ke 40
kebuntingan. Karena fetus yang berkembang mengeluarkan sejumlah besar estrone
sulphate ke dalam sirkulasi maternal antara hari ke 75 – 100 kebuntingan, maka
estrone sulphate lebih dapat dimanfaatkan dari pada eCG untuk mengetahui adanya
kehadiran fetus.
Equine chorionic
gonadotropin (eCG atau PMSG) muncul dalam darah kuda 40 hari setelah konsepsi
dan deteksi kehadirannya merupakan bukti terjadinya kebuntingan. Diagnosa
kebuntingan secara imunologi pada kuda berdasarkan pada eCG tersebut, dimana
kehadirannya dalam sampel darah diperiksa dengan hemagglutination – inhibition
( HI ) test. Bila terjadi aglutinasi dari sel darah merah berarti negative
(yaitu tidak bunting) dan apabila terjadi inhibisi dari aglutinasi, artinya
hasilnya positive Test ini akan lebih akurat apabila dilakukan antara hari ke
50 dan 100 kebuntingan. Pada kejadian fetus yang mati dalam periode ini, plasma
eCG akan tetap tinggi. Oleh sebab itu apabila pengukuran eCG dilakukan setelah
fetus mati, maka akan menghasilkan false positive.
Daftar Pustaka
Arthur, G. F.; Noakes,
D.E.;Pearson, H. and Parkison,T.M. 1996. Veterinary
Rproduction and
Obstetrics. London : W.B.Sounders
Jainudeen,
M.R. and Hafez. E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez, E.S.E and Hafez,
B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams &Wilkins.
Philadelphia
Mauer,
R.R and Echternkamp,S.E. 1982. Hormonal asynchrony and embryonic development.
Theriogenolgy 17 : 11.
Partodihardjo,
S. 1980. Ilmu Reprodksi Hewan. Mutliara. Jakarta.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi
Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar