TUGAS
TEKNOLOGI
PRODUKSI TERNAK RUMINANSIA BESAR
PROSPEK
PERKEMBANGAN TERNAK SAPI PERSILANGAN LIMOUSIN
[SAPI
LIMPO (LIMOUSIN PO)]
Yudha Endra Pratama
D24135008
DEPARTEMEN
ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS
PETERNAKAN
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Seiring dengan pertumbuhan jumlah
penduduk Indonesia yang pesat maka kebutuhan pangan sumber protein juga ikut
meningkat. Salah satunya yaitu dengan peningkatan permintaan akan daging sapi.
Permintaan daging sapi untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor ke luar
negeri seperti Malaysia dan
Singapura
terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun permintaan tersebut belum dapat
diimbangi dengan suplai yang seimbang.
Menurut
Hassen, Wilson, Rouse dan Tait (2004) menyatakan bahwa ukuran bobot badan
merupakan salah satu representasi ekonomi yang penting dalam peternakan sapi
potong. Selain itu, bobot badan juga sangat berkaitan erat dengan karakter
ekonomi lainnya meliputi produksi dan reproduksi. Kelemahan sistem perdagangan
ternak khususnya sapi di Indonesia yaitu hingga saat ini, perdagangan sapi di
pasar hewan hanya berdasarkan estimasi visual dengan melihat performan ternak
yang dilakukan oleh blantik sehingga faktor human error cukup tinggi.
Belum adanya kebijakan standarisasi proses penjualan ternak, mengakibatkan
peternak mengalami kerugian. Oleh karena itu perlu dikembangkan cara pendugaan
bobot badan ternak dengan ketepatan yang dapat digunakan sebagai alternatif
oleh peternak dapat memonitor pertumbuhan ternaknya dan mempermudah proses
pendugaan bobot badan ternak di pasar hewan pada saat dijual.
Usaha
peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala
usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan
secara besar dan modern, dengan skala usaha kecilpun akan mendapatkan
keuntungan yang baik jika dilakukan dengan prinsip budidaya modern. Sejatinya
semua jenis ras sapi memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang perlu diperhatikan adalah
nilai-nilai praktis dan ekonomis dari jenis ras tersebut baik dari sisi
kekuatan finansial peternak, peruntukannya, dan waktu tepat penjualannya. Untuk
penambahan berat harian jenis sapi limosin mampu mencapai 1,3 – 2 Kg/hari.
Namun, yang terpenting adalah penampakan fisik sapi terlihat bagus dan sehat.
Berikut jenis-jenis sapi yang dapat diternakan sebagai penghasil daging.
Sebagai
perkenalan, Limpo dan Simpo adalah singkatan dari Simmental-PO dan Limousin-PO,
keduanya merupakan sapi hasil kawin silang (crossbreeding) antara sapi PO
dengan Simmental ataupun Limousin. Sapi-sapi ini belakangan sering kita temui
karena sangat disukai peternak. Peternak lebih menyukai sapi jenis ini
dibanding sapi lokal (sapi PO) karena berat lahir yang lebih besar, pertumbuhan
lebih cepat, adaptasi baik pada lingkungan serta pakan yang sederhana, ukuran
tubuh dewasa lebih besar dan penampilan yang eksotik.
Alasan ini mengakibatkan nilai jual
yang lebih tinggi, pendapatan peternak lebih besar, serta dapat menjadi
kebanggaan peternak. Pada dasarnya sapi hasil persilangan ini (Simpo dan Limpo)
diperuntukkan sebagai sapi final stock (sapi yang dipersiapkan untuk langsung
dipotong). Namun, pemanfaatan sapi-sapi ini sebagai indukan menyebabkan
beberapa fenomena yang disadari atau tidak, justru merugikan peternak. Selain
juga menyebabkan adanya ancaman kepunahan bangsa sapi lokal.
Pembangunan
peternakan di Indonesia dihadapkan pada beberapa problema antara lain: 1.
Penyediaan pakan yang tidak kontinyu sepanjang tahun, 2. Kualitas bahan pakan
yang variatif, 3. Polusi lingkungan.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah untuk mengetahui potensi sapi persilangan limousine (Limpo) dan juga
mengatahui prospek perkembangan kedepannya untu mencukupi kebutuhan daging di
Indonesia.
Rumusan
Masalah
Permasalahan
yanga akan dibahas adalah :
·
Apa
itu Sapi Limousin, sapi PO ( Peranakan Ongole), dan sapi Limpo (Limousin PO) ?
·
Bagaimana
Potensi perkembangan Sapi tersebut di Inonesia ?
PEMBAHASAN
Sapi Limousin
Mempunyai ciri
berwarna hitam bervariasi dengan warna merah bata dan putih, terdapat warna
putih pada moncong kepalanya, tubuh berukuran besar dan mempunyai tingkat
produksi yang baik. Merupakan sapi bangsa Bos taurus
yang dikembangkan pertama kali di Prancis. Sapi ini merupakan tipe sapi
pedaging. Secara genetik, sapi limousin adalah sapi potong yang berasal dari
wilayah beriklim dingin, bertipe besar, mempunyai volume rumen yang besar,
mampu menambah konsumsi lebih tinggi di luar kebutuhan yang sebenarnya, serta
memiliki metabolisme yang cepat sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan
yang lebih teratur.
Sapi limousin murni sulit ditemukan
di Indonesia karena telah mengalami persilangan dengan sapi lokal. Kebanyakan
sapi limousin yang ada di Indonesia adalah limousin cross yang telah
disilangkan dengan sapi lokal. Hadi dan Ilham (2002) menambahkanbahwa salah satu
jenis sapi impor yang didatangkan ke Indonesia ialah sapi Limousin, yang
memiliki keunggulan dibanding sapi lokal yaitu pertambahan bobot badan harian
(PBBH) berkisar antara 0,80-1,60 kg/hari, konversi pakan tinggi dan komposisi
karkas tinggi dengan komponen tulang lebih rendah.
Sapi Peranakan Ongole (PO)
Sapi
ongole merupakan keturunan sapi zebu dari India yang mulai diternakan secara
murni di pulau Sumba, sehingga dikenal dengan nama sapi “Sumba” ongole.
Ciri-ciri sapi ongole antara lain berpunuk besar, memiliki lipatan kulit di
bawah leher dan perut, telinga panjang dan menggantung, kepala relatif pendek
dengan posisi melengkung, mata besar menunjukkan ketenangan, serta bulunya
berwarna putih.
Hasil
persilangan sapi ongole dengan sapi lokal Indonesia (sapi Jawa) menghasilkan
sapi yang mirip dengan sapi ongole dan dikenal dengan nama sapi PO
(peranakan ongole). Sapi PO murni sudah sulit ditemukan, karena telah banyak
disilangkan dengan sapi brahman. Ukuran tubuh sapi PO lebih kecil dibandingkan
dengan sapi ongole. Punuk dan gelambir juga kelihatan lebih kecil atau sangat
sedikit. Warna bulunya bervariasi, tetapi kebanyakan berwarna putih atau putih
keabu-abuan. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mampu
beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan, dan cepat bereproduksi.
Tinggi
sapi ongole jantan berkisar 150 cm dengan berat badan mencapai 600 Kg.
Sementara itu, sapi betina memiliki tinggi badan berkisar 135 cm dan berat badan
450 Kg. Pertambahan bobot badan sapi ongole dapat mencapai 0,9 Kg per hari
dengan kualitas karkas mencapai 45 – 58%. Rasio daging dengan tulangnya adalah
1 : 423, sapi ongole termasuk lambat untuk mencapai dewasa, yaitu sekitar umur
4 – 5 tahun. Untuk sapi PO, bobot badan rataan sekitar 200 – 350 kg dengan
pertambahan bobot badan 0,6 – 0,8 Kg per hari jika dipelihara dengan baik.
Pada sapi PO, warna bulu
badan putih abu-abu baru muncul ketika lepas sapih dan menjadi semakin besar
kemungkinan munculnya pada saat umur yearling. Cirinya berwarna putih dengan
warna hitam di beberapa bagian tubuh, bergelambir dan berpunuk, dan daya
adaptasinya baik. Jenis ini telah disilangkan dengan sapi Madura, keturunannya
disebut Peranakan Ongole (PO) cirinya sama dengan sapi Ongole tetapi kemampuan
produksinya lebih rendah.
Sapi Limpo (Limousin Peranakan Ongole)
Persilangan
sapi limousin dengan sapi ongole dikenal dengan nama sapi limousin ongole
(limpo). Sapi limpo memiliki ciri tidak berpunuk dan tidak bergelambir, serta
warna bulunya hanya cokelat tua kehitaman dan cokelat muda.
Pada sapi LIMPO (Limousin
cross dengan PO), variasi warna bulu badannya hanya coklat tua dan coklat
putih. Pada sapi LIMPO, warna bulu badan yang dominan dari lahir sampai
yearling adalah coklat tua. Warna coklat putih yang sering muncul saat lahir,
menjadi lebih sering muncul pada saat sapi mencapai umur yearling. Dalam jumlah
kecil, ada sapi LIMPO yang saat lahir mempunyai warna bulu badan putih (seperti
PO), tetapi semua nya akan berubah menjadi coklat putih setelah sapi mencapai
umur yearling
Terjadinya variasi dan
perubahan terhadap warna bulu badan sapi silangan ini, menjadi pertimbangan
penting dalam ikut menentukan sebaiknya sapi silangan yang mana, SIMPO atau
LIMPO, yang cocok dikembangkan di daerah DR (dataran rendah) atau DT (dataran tinggi), karena Gebremedhin
(1984) dan Robertshaw (1984) menyatakan bahwa warna bulu sapi sangat
berpengaruh pada mekanisme pengaturan temperatur tubuh sapi hubungannya dengan
pengaruh panas lingkungan ; sapi yang bulunya cenderung ke arah warna gelap,
lebih cocok dikembangkan di daerah berintensitas sinar matahari lebih rendah.
Sapi Limousin Peranakan Ongole (LIMPO)
merupakan sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Limousin dengan induk
sapi PO, kebanyakan sapi-sapi ini merupakan hasil perkawinan IB, sapi LIMPO
sebagai turunan sapi tipe besar sehingga secara genetic mempunyai laju
pertumbuhan yang lebih besar dan lebih cepat dibanding sapi PO (Sarwono dan
Arianto, 2003). Hastuti (2007) menyatakan bahwa karakteristik eksterior sapi
LIMPO adalah warna sekitar mata bervariasi coklat sampai hitam, moncong warna
hitam dengan sebagian kecil berwarna merah.
Potensi perkembangan
Sapi merupakan penghasil daging utama di
Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging
Nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi daging sapi cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 mencapai 4,1 kg/ kapita/tahun meningkat
menjadi 5,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2007. Namun peningkatan konsumsi daging
ini tidak diimbangi dengan peningkatan populasi ternak (ketidak seimbangan
antara supply dan demand), sehingga diseimbangkan dengan impor daging sapi
setiap tahun yang terus meningkat sekitar 360 ribu ton pada tahun 2004 menjadi
650 ribu ton pada tahun 2008 (Luthan, 2009).
Grafik
Pertumbuhan Populasi Sapi Potong,kambing dan kerbau di Indonesia pada 5 tahun
terakhir,
Sumber : Direktorat Jenderal
Peternakan
Dari
table pertambahan populasi ternkan sapi potong, kambing dan juga kerbau dapat
dilihat betapa rendahnya populasi ternka sapi potong jika dibandingkan dengan
jumlah populasi masyarakat Negara Indonesia, tentunya tidak memenuhi konsumsi
daging perkapita pertahunnya.
Dapat juga
dilihat grafik dibawah ini konsumsi daging (daging sapi, daging ayam ras/broiler,
daging ayam kampung) di Indonesia perkapita selama 5 tahun terakhir;
Sumber : National
Sosio-Economic Survey, 2007-2013
Dari
tabel konsumsi daging perkapita dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat
perbandingan yang sangat jauh konsumsi daging ayam ras/broiler dengan daging
sapi, dalam 3 tahun terakhir konsumsi perkapita daging sapi jjuga mengalami
penurunan padahal jika dilihat dari kebijakan pemerintah kita telah melakukan
ekspor daging sapi dari Australia untuk memenuhi konsumsi daging kenyataannya
sangat berbeda dengan apa yang kita dapatkan dilapangan.
Untuk mengurangi
ketergantungan Indonesia pada sapi potong impor, Depertemen Pertanian kembali
mencanangkan program swasembada daging pada tahun 2014 dengan melakukan kajian
mendalam melalui program ”Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi ( P2SDS
)”. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain revitalisasi program pembibitan
dengan pendistribusian bibit sapi potong ke berbagai propinsi potensial untuk
dikembangkan secara intensif. Idealnya peningkatan populasi sapi setidaknya
mencapai 7 persen per tahun (Dirjen Peternakan, 2009).
Pada
umumnya sapi potong yang dipelihara peternak di Negara kita adalah sapi Lokal, sapi Bali, Simental,
Peranakan Ongole, Limousine, Brahman, Angus dan hasil persilangan antara
Brahman dan Angus yang dikenal dengan nama Brangus.
Kondisi
lahan yang kurang subur merupakan kendala utama kurang tersedianya pakan
hijauan. Keringnya lahan pertanian di suatu wilayah menyebabkan tidak semua
jenis tanaman hijauan dapat tumbuh subur. Sistem pertaniannya sangat bergantung
pada daur iklim khususnya curah hujan. Oleh karena lahan pertanian berupa lahan
kering maka di samping bercocok tanam sebagai kegiatan utama, untuk
meningkatkan pendapatan petani juga memelihara ternak (Abdurrahman et al.,
1997). Pengembangan usaha ternak sapi potong rakyat di suatu daerah dilakukan
dengan memanfaatkan limbah pertanian mengingat penyediaan rumput dan hijauan
pakan lainnya sangat terbatas. Limbah pertanian yang berasal dari limbah
tanaman pangan yang memiliki potensi untuk pakan adalah jerami padi, jerami
jagung, jerami kacang tanah, daun ubi jalar, daun singkong serta limbah
pertanian lainnya yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pola pertanian
tanaman pangan di suatu wilayah (Febrina dan Liana 2008).
Persilangan bangsa sapi Bos
indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi
Limousin) bertujuan untuk menghasilkan sapi potong yang memiliki
reproduksi dan pertumbuhan yang bagus. Pemeliharaan sapi
Persilangan Limousin lebih disukai oleh peternak karena memiliki tubuh
yang lebih besar serta harga jual yang lebih tinggi dari sapi lokal.
Sapi Bos taurus (Limousin)
mempunyai sifat reproduksi yang tinggi, ukuran tubuh besar dengan J. Ternak
Tropika Vol. 12, No.2: 76-80, 2011 75 kecepatan pertumbuhan sedang sampai
tinggi, sedangkan bangsa sapi Bos indicus (PO) mempunyai sifat
yang kurang baik dalam hal reproduksi dan kecepatan pertumbuhannya, tetapi
sifat menyusui terhadap anaknya (mothering ability) sangat bagus.
Dari kelebihankelebihan yang dimiliki oleh kedua bangsa tersebut diharapkan
mampu terekspresikan pada hasil silangannya. Persilangan yang memanfaatkan
heterosis hanya dapat meningkatkan karakteristik produksi, tetapi tidak reproduksinya..
Hal itu terlihat dari jarak beranak yang mencapai 20 bulan, yangterkait erat
dengan tingginya anestrus pasca beranak serta tingginya kawin berulang. (Astuti
2004). Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ternak dipengaruhi oleh lima hal
yaitu . sngka kebuntingan (conception rate); jarak antar kelahiran (calving
interval); jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service
periode); angka kawin per kebuntingan (service per conception);
angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).
Solusi yang dapat dilakukan yaitu
dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas reproduksi dengan cara
persilangan bangsa sapi Bos Indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa
sapi Bos taurus (Sapi Limousin) sehingga impor sapi dapat dikurangi.
Penampilan reproduksi di peternakan rakyat secara umum masih tergolong rendah,
sehingga perlu adanya evaluasi reproduksi sapi potong pada paritas
Berbeda Paritas
adalah tahapan seekor induk ternak melahirkan anak. Paritas pertama adalah
ternak betina yang telah melahirkan anak satu kali atau pertama. Demikian juga
untuk kelahirankelahiran yang akan datang disebut paritas kedua dan seterusnya
(Hafez, 2000). Daya reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi terutama lama
kehidupan,
dimana lama kehidupan produktif sapi potong lebih lama bila dibandingkan dengan
sapi perah yaitu 10 sampai 12 tahun dengan produksi 6 sampai 8 anak. Faktor ini
sangat penting bagi peternakan dan pembangunan peternakan, karena setiap
penundaan kebuntingan ternak, mempunyai dampak ekonomis yang sangat penting
(Toelihere, 1985).
Peningkatan
produktivitas sapi potong melalui program persilangan (crossbreeding)
antara sapi Limousin atau Simmental dengan sapi Peranakan Ongole telah lama
dilakukan melalui sistem perkawinan inseminasi buatan (IB). Menurut
Hardjosubroto (1994), tujuan utama dari persilangan adalah menggabungkan dua
sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke
dalam satu bangsa silangan.
Program inseminasi buatan (IB) di
Indonesia telah menghasilkan beberapa sapi potong silangan. Sapi SIMPO sebagai
hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi peranakan ongole
(PO) dan LIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Limousin dengan
sapi PO, merupakan sapi silangan yang banyak disukai dan dipelihara oleh
peternak rakyat. Simmental atau Limousin adalah sapi dari bangsa Bos
Taaurus yang berasal dari daerah sedang (temperate zone), terbiasa
hidup di daerah dengan temperatur udara yang dingin dan tatalaksana
pemeliharaan yang intensif (ASTUTI et al., 2002), serta termasuk sapi
tipe besar sehingga secara genetik mempunyai laju pertumbuhan yang cepat. Sapi
PO adalah termasuk bangsa Bos Indicus yang berasal dari daerah tropis,
terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang panas dan tatalaksana
pemeliharaan yang ekstensif, serta termasuk sapi tipe kecil sampai sedang
sehingga laju pertumbuhannya rendah sampai sedang. Oleh karena itu, sapi SIMPO
dan LIMPO secara genetik akan mewarisi sifat-sifat kedua tetuanya masing-masing
sebesar 50%, yaitu diduga dibandingkan dengan sapi PO akan mempunyai potensi
laju pertumbuhan lebih cepat tetapi kurang tahan terhadap pengaruh temperatur
udara panas dan kondisi pakan terbatas.
Kenyataan
di lapang, sapi SIMPO dan LIMPO yang dipelihara di peternak rakyat ada yang
menunjukkan performan produksi tidak lebih baik bahkan beberapa kasus justru
lebih jelek dibandingkan dengan sapi PO. Performan penotip yang kurang/tidak
mencerminkan potensi genotipnya ini, menurut DIWYANTO (2002) diduga karena
pengaruh terjadinya genetic-environmental interaction.
Keberhasilan IB untuk menghasilkan
seekor pedet saat ini cukup bervariasi, tetapi untuk beberapa kawasan telah
berhasil dengan baik. Salah satu kunci keberhasilan IB adalah, sapi dipelihara
secara intensif dengan cara di kandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam
deteksi berahi serta memudahkan petugas untuk melaksanakan IB. Akan tetapi
secara umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alam
(Subarsono, 2009).
Namun
secara komprehensif laporan perihal keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu
genetic sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada. Demikian pula halnya
dengan kinerja performans reproduksi sapi persilangan hasil IBpraktis belum
banyak dilakukan evaluasinya, kecuali sinyalemen yang disampaikan Putro (2009).
Oleh karena itu pelaksanaan IB harus disesuaikan dengan tujuan dan sasaran
akhir yang akan dituju, serta dengan memperhatikan adanya interaksi genetika
dan lingkungan (genotype environmet interaction, GEI). Apabila IB
ditujukan untuk menghasilkan bakalan pada usaha cow-calf operation, maka
penggunaan pejantan yang berukuran besar (misalnya: Simental maupun Limousin)
hanya dapat dilakukan di daerah yang ketersediaan pakannya memadai.
Peternak
menyukai sapi persilangan hasil IB, karena harga jual anak jantan sangat
tinggi, sedangkan sekitar 50% hasil IB adalah sapi betina yang dipergunakan
sebagai replacement. Dengan kegiatan IB, sapi lokal berubah menjadi sapi
tipe besar yang membutuhkan banyak pakan. Pada kondisi sulit pakan, sapi
persilangan menjadi kurus, kondisi tubuh buruk, dan berakibat menurunnya
kinerja reproduksi, seperti: nilai S/C (sevice per conception) tinggi, jarak
beranak panjang, dan rendahnya calf crop. Kondisi ini disertai rendahnya
produksi susu dan tingginya kematian pedet. Pada kondisi pemeliharaan yang
baik, kinerja reproduksi sapi persilangan tetap baik.
Selama
ini program kawin suntik di tingkatpeternakan rakyat tidak terarah bahkan
pemanfatan teknologi dalam penggemukan sapi impor dirasakan masih belum
dilaksanakan secara baik oleh peternak (SUTAWI, 2002). Suatu usaha perbibitan
sapi potong bakalan secara komersial di peternakan rakyat dengan memanfaatkan
program IB/kawin suntik, memerlukan adanya pembentukan wilayah sentra
perbibitan dan menurut HAMMACK (1998) serta CHAPMAN dan ZOBELL (2004) harus
diikuti dengan program persilangan dan pemuliaan yang benar dan terarah,
sehingga akan mampu meningkatkan produksi daging (THIEN, 1992). AFFANDHY et
al. (2003).
Tabel
. Rerata dan standar deviasi ukuran tubuh sapi SIMPO dan LIMPO pada keturunan
pertama dan kedua backcross (the average and standard deviation of
body sizes of SIMPO and LIMPO cattle in first filial and backcross).
No
|
Ukuran
tubuh (body’s size)
|
SIMPO
|
LIMPO
|
PO
|
||
F1
|
BC1
|
F1
|
BC1
|
|||
1.
|
Lingkar dada (cm)
(heart girth (cm))
|
164,83±9,58
|
167,60±9,47
|
158,83±12,56
|
167,20±14,07
|
162,15±12,33
|
2.
|
Tinggi gumba (cm)
(withers height (cm))
|
124,65±5,36
|
125,15±6,25
|
125,32±9,35
|
126,55±5,52
|
121,55±4,36
|
3.
|
Panjang badan (cm)
(body length (cm))
|
124,43±8,76
|
124,80±6,65
|
119,87±10,49
|
125,10±8,15
|
109,75±9,72
|
4.
|
Tinggi pinggul (cm)
(hip height (cm))
|
125,75±5,18
|
126,80±7,79
|
128,60±9,25
|
130,15±5,93
|
123,25±4,83
|
5.
|
Indeks kepala (head
index)
|
0,48±0,07
|
0,49±0,06
|
0,46±0,07
|
0,52±0,06
|
0,40±0,04
|
F1: keturunan pertama (first filial)
BC1: keturunan kedua backcross (first
backcross)
Dalam
penelitian ini sapi SIMPO dan LIMPO yang di backcross mengalami
peningkatan persentase darah tetua pejantan yaitu Simmental untuk SIMPO dan
Limousin untuk LIMPO dari F1 ke BC1, akan tetapi dari faktor lingkungan berada
pada kondisi yang seragam, sehingga dapat
dikatakan faktor genetik dari sapi Simmental dan Limousin mengalami peningkatan
tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan dari faktor lingkungan. Oleh karena
itu, fenotip yang dihasilkan dalam hal ini ukuran tubuh BC1 menunjukkan
peningkatan yang tidak jauh berbeda dibanding pada F1.
Ketersediaan
bahan pakan di Indonesia (daerah tropik) terutama untuk ternak ruminansia yang
berupa hijauan sangat fluktuatif tergantung pada musim. Pada musim hujan
hijauan pakan sebagai pakan utama ternak ruminansia melimpah sedangkan pada
musim kemarau sangat terbatas sampai tidak ada produksi sama sekali tergantung
pada lamanya musim kemarau. Kekurangan hijauan pakan ini dipengaruhi kebijakan
pemerintah yang lebih memprioritaskan produksi pangan daripada pakan dan
keperluan lain. Lahan subur dengan irigrasi tekhnis di daerah padat penduduk
diprioritaskan untuk produksi pangan, sedangkan untuk produksi hijauan pakan
digunakan tanah yang tidak subur (margin). Akibat dari kebijakan ini padang
rumput semakin berkurang, produksi pakan hijauan menjadi sangat rendah,
sehingga berakibat langsung pada produktivitas ternak 5 terutama daging dan
susu. Dipandang dari fungsinya, padang rumput dapat digunakan untuk mencegah
erosi asal dikelola dengan baik, meskipun kemampuan untuk mencegah erosi masih
di bawah tanaman legume dan hutan (Reksohadiprodjo, 1985). Pakan ternak
ruminansia dibedakan menjadi pakan basal yang berupa hijauan dan konsentrat.
Pakan hijauan berasal dari bahan pakan klas 1, 2, dan 3, yang dapat berupa
hasil sisa tanaman pertanian, rumput, daun legume (kacang-kacangan), dan hijaun
lain yang semua dapat diberikan dalam keadaan segar, kering, atau silage.
Berdasarkan cara pengelolaaannya rumput dibedakan menjadi rumput lapangan (native
grass) dan rumput budidaya (culture). Rumput lapangan diambil dari
pematang sawah, pinggir jalan, atau kebun yang tidak diusahakan secara khusus.
sehingga kualitasnya tidak menentu, produktivitasnyapun rendah. Rumput budidaya
dipotong dari rumput yang dibudidayakan atau dikelola khusus sebagai penghasil
pakan hijauan (rumput kolonjono, rumput gajah, rumput raja, dll). Selain berupa
rumput dapat juga berupa legume menjalar (centro, siratro, peuro dll), atau
legume pohon (lamtoro, gliriside, turi, dll).
Di
Indonesia terdapat lahan berupa semak dan padang rumput sekitar 15.145.550 ha yang
sebagian besar ada di luar Jawa (Anonimus 1999 cited Baliarti 2002),
sehingga secara teoritis masih dapat menampung 7,5 juta ekor sapi (Baliarti
2002). Apabila lahan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik untuk program
penyediaan bibit, secara teoritis Indonesia (para penggemuk sapi = feedloter)
tidak perlu mengimpor sapi dari Australia, karena sapi bakalan untuk penggemukan
akan dapat dipenuhi sendiri. Selain itu untuk peternakan yang intensif perlu
dirintis pengembangan tanaman alternatif atau varietas yang dapat menghasilkan produksi
dan kualitas pakan yang tinggi. Pengembangan tanaman kearah varietas atau
kultivar yang dikehendaki untuk dibudayakan ditempuh lewat pemuliaan tanaman.
Prinsip dasar pemuliaan tanaman ialah seleksi terhadap karakter yang
dikehendaki di antara keragaman tanaman yang ada. Salah satu usaha untuk
memperluas keragaman genetik tanaman dapat ditempuh dengan mutagen tertentu,
baik mutagen kimia maupun fisika (Soeranto, 1985). Radiasi sinar gama sampai
3.000 Krad pada stek rumput Gajah yang akan ditanam dapat menaikkan jumlah
anakan 200% dan produksi rumput sampai 250% dibanding yang tanpa diradiasi
(Widyantoro et al., 1985).
Perkembangan
peternakan sapi potong di Indonesia saat ini belemlah relevan dan terlalu
signifikan, dikarenenakan pemerintah telah 2 kali mencanangkan Indonesia
swasembada daging tapi hasilnya nihil atau tidak ada sama sekali, sangat
dibutuhkan kerjasama seluruh pihak yang terkait untuk mewujudkan agar Indonesia
dapat swasembada daging dan juga melukukan import daging ataupun sapi ke negara
tetangga, terutama keseriusan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tentang
peternakan terutama tentang perkembangan sapi potong di Indonesia. Dimana
dibutuhkan kerjasama dan komunikasi yang kuat antara pemerintah, stokeholder,
industry peternakan dan peternak rakyat. Saat ini pemerintah membuat kebijakan
seolah – olah mendukung industry peternakan atau peternakan skala industry
daripada peternakan skala rakyat.
DAFTAR
PUSTAKA
Baliarti, E.
2002. Pengembangan Sapi Potong Berbasis Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Direktorat
Jenderal Peternakan. 2006. Basis Data Pertanian. http://deptan.go.id
Hafez.
E. S. E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th
Edition. Lippincott Williams dan
Wilkins. Maryland. USA.
Hardjosubroto,
W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. Penerbit
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Hastuti, I.
2007. Karakteristik exterior sapi betina hasil silangan antara Simmental
dan Limousin dengan Sapi PO di Kabupaten Bantul. Skripsi Sarjana Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pane, I., 1993.
Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Partodihardjo,
S., 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Sumber Widya. Jakarta.
Putro, P.P.,
2009. Dampak Persilanganing terhadap Reproduksi Induk Turunannya: sHasil Studi
Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Fak. Peternakan UGM, 8 Agustus 2009
Putro, P.P.,
2009. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit
Hewan Menular Strategis dalam Pengembangan Usaha Sapi
Potong. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hewan Menular Strategis dalam Pengembangan Usaha Sapi
Potong. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sarwono, B. dan
Arianto. 2003. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Subarsono, 2009.
Dampak Persilanganing terhadap Reproduksi Induk Turunannya: Pengalaman Praktis
di Lapangan. Lokakarya Lustrum VIII Fak. Peternakan UGM, 8 Agustus 2009
Toelihere, M.R.,
1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Edisi ke-2. Angkasa, Bandung.
Widyantoro, R.
Utomo, dan M. Soejono. 1985. Pengaruh iradiasi gamma 60Co pada pertumbuhan
stek rumput gajah (Pennisetum purpureum).Dalam Abdulllah et al.
(Penyunting). Risalah Pertemuan Ilmiah: Aplikasi Teknik Nuklir Di Bidang
Pertanian Dan Peternakan. PAIR BATAN Jakarta.
Wilson, J.R.
1981. Plant structures: Their digestive and physicalbreakdown. In: Ho et al.,
(Eds.). Recent Advances on theNutrition of Herbivores. Proceeding of the
Third International Symposium on the Nutrition of Herbivores. (Malaysian
society of Animal Production. UPM., Serdang.
Bandar Sabung Ayam Terpercaya & Terbesar di Indonesia !
BalasHapustaruhan sabung ayam S128 - SV388 - CFT2288 (KUNGFU)
Bonus 10% Deposit Pertama / Cashback 5% - 10%
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www.bolavita88.com
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
WA: +628122222995