Jumat, 30 Oktober 2015

Deteksi Kebuntingan Ternak sapi



METODE DETEKSI KEBUNTINGAN PADA
TERNAK SAPI

`Terjadinya berahi pertama pada sapi berbeda menurut spesies dan kualitas pakan yang diberikan. Toelihere (1981) menyatakan bahwa dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 sampai 15 bulan. Sapi potong dan sapi perah yang kurang baik pertumbuhannya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18 sampai 24 bulan. Hal ini berarti bahwa sapi sudah dapat melahirkan anak pertama kali umur 27 bulan dan selambat-lambatnya pada umur 33 bulan.
Menurut Djanah (1984), cara yang paling tepat untuk menentukan umur ternak adalah dengan melihat catatan kelahirannya, namun apabila catatan kelahiran itu tidak ada, maka umur ternak dapat diperkirakan dengan melihat pertukaran giginya, selanjutnya umur ternak sapi dapat diperkirakan dengan melihat cincin tanduk, namun cara ini kurang akurat dan hanya dapat dilakukan pada sapi yang memiliki tanduk, sehingga cara ini jarang dipakai.
Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen Reproduksi, Metoda deteksi kebuntingan dapat secara klinik dan imunologi , Pemilihan metoda tergantung pada spesies, umur kebuningan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa. Secara umum, diagnosa kebuntingan dini diperlukan untuk Mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat,  Sebagai pertimbangan apabila ternak harus dijual atau di culling Untuk menekan biaya pada breeding program yang menggunakan teknik hormonal yang mahal dan Membantu manajemen ternak yang ekonomis (Jainudeen and Hafez, 2000)
Pertama Metoda klinis, metoda ini  tergantung deteksi pada konseptus-fetus, membran fetus dan cairan fetus. Metoda ini meliputi eksplorasi rektal dan teknik ultrasonografi. Eksparasi Rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, fetus atau membran fetus Sempitnya rongga pelvic pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan (Arthur, et al., 1996). Ultrasonography merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini menggunakan probe untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga abdomen. Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari cornua uteri. Ada resiko kehilangan embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan pobe. Pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat ultrasonografi ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas 30 hari ( Youngquist, 2003).
Ada dua tipe ultrasonografi yang digunakan pada manusia dan kedokteran hewan yaitu  fenomena Doppler transducer atau probe,  ketika diaplikasikan pada dinding abdominal atau dimasukkan ke dalam rektum, akan memancarkan cahaya gelombang frekuensi tinggi (ultrasonic). Pergerakan jantung fetus dan aliran darah dalam fetus (pembuluh umbilical) serta sirkulasi maternal (arteri uterina) merubah frekuensi gelombang dan memantul kembali ke probe dan dikonversi ke suara yang dapat terdengar. Sedang pada pulse-echo ultrasound getaran ultrasound yang digerakkan oleh kristal piezoelectric dalam transducer ketika kontak dengan jaringan akan memantul kembali ke transducer kemudian dikonversi ke dalam energi elektrik dan diidsplay pada osciloscope.

Tabel 1. Diagnosa kebuntingan pada sapi, kerbau dan kuda dengan palpasi rektal.
Species
Umur Kebuntingan (Bulan)
Perubahan yang terjadi
Sapi dan Kerbau
Pertama
Uterus statis dengan CL yang tumbuh pada satu ovarium

Kedua
Pembesaran tanduk uterus karena adanya cairan fetus

Ketiga
Uterus mulai turun, fetus teraba

Keempat- ketujuh
Uterus berada pada lantai abdominal, fetus sulit diraba, cotyledon : diameter 2-5 cm teraba pada dinding uterus, arteri uterina media hypertrofi dan terjadi fremitus

Ketujuh -  menjelang lahir
Cotyledon, fremitus dan bagian dari fetus dapat diraba



Kuda
Pertama
Cervix kontraksi dan statis, tanduk uterus membengkak

Kedua
Kantong chorioallantois pada bagian sepertiga bawah ventral tanduk uterus, tanduk uterus membengkak

Ketiga
Kantong chorioallantois berkembang cepat dan turun ke badan uterus. Uterus mulai turun

Keempat
Permukaan dorsal uetrus teraba seperti kubah menggembung. Fetus dan bagian fetus teraba

Kelima – Ketujuh
Uterus terletak jauh di dasar rongga abdominal

Ketujuh -menjelang
Fetus lebih mudah teraba. Uterus mulai naik
            (Sumber : Jainudeen and Hafez, 2000)

Kedua adalah Teknik Imunologik yang digunakan untuk diagnosa kebuntingan berdasarkan pada pengukuran level cairan yang berasal dari konseptus, uterus atau ovarium yang memasuki aliran darah induk, urin dan air susu. Test imonologik mengukur dua macam cairan yaitu: Pregnancy Specific yg hadir dalam peredaran darah maternal : eCG dan EPF, dan Pregnancy Not Specific, perubahan-perubahan selama kebuntingan, konsentrasi dalam darah maternal,urin dan air susu, contoh : progesteron dan estrone sulfate.
Ketiga Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda yang menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan dengan metoda rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Misalnya pada Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Level progesteron dapat diukur dalam cairan biologis seperti darah dan susu , kadarnya menurun pada hewan yang tidak bunting. Progesteron rendah pada saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting. Test pada susu lebih dianjurkan dari pada test pada darah, karena kadar progesteron lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah Sample susu ditest menggunakan radio immuno assay (RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi. Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan sore hari. Bahan preservasi seperti potasium dichromate atau mercuris chloride ditambahkan untuk menghindari susu menjadi basi selama transportasi ke laboratorium. Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan fasilitas laboratorium dan hasilnya harus menunggu beberapa hari.
Estrone sulphate adalah derifat terbesar estrogen yang diproduksi oleh konseptus dan dapat diukur dalam plasma maternal, susu atau urine pada semua species ternak. Estrone sulphate dapat dideteksi dalam plasma lebih awal pada babi ( hari ke 20) dan kuda (hari ke 40), dibandingkan pada domba dan kambing (hari ke 40 sampai 50) atau sapi (hari ke 72). Kedua level hormon baik estrone sulphate maupun eCG dapat digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan pada kuda setelah hari ke 40 kebuntingan. Karena fetus yang berkembang mengeluarkan sejumlah besar estrone sulphate ke dalam sirkulasi maternal antara hari ke 75 – 100 kebuntingan, maka estrone sulphate lebih dapat dimanfaatkan dari pada eCG untuk mengetahui adanya kehadiran fetus.
Equine chorionic gonadotropin (eCG atau PMSG) muncul dalam darah kuda 40 hari setelah konsepsi dan deteksi kehadirannya merupakan bukti terjadinya kebuntingan. Diagnosa kebuntingan secara imunologi pada kuda berdasarkan pada eCG tersebut, dimana kehadirannya dalam sampel darah diperiksa dengan hemagglutination – inhibition ( HI ) test. Bila terjadi aglutinasi dari sel darah merah berarti negative (yaitu tidak bunting) dan apabila terjadi inhibisi dari aglutinasi, artinya hasilnya positive Test ini akan lebih akurat apabila dilakukan antara hari ke 50 dan 100 kebuntingan. Pada kejadian fetus yang mati dalam periode ini, plasma eCG akan tetap tinggi. Oleh sebab itu apabila pengukuran eCG dilakukan setelah fetus mati, maka akan menghasilkan false positive.







Daftar Pustaka

Arthur, G. F.; Noakes, D.E.;Pearson, H. and Parkison,T.M. 1996. Veterinary
Rproduction and Obstetrics. London : W.B.Sounders
Jainudeen, M.R. and Hafez. E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez, E.S.E and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams &Wilkins. Philadelphia
           
Mauer, R.R and Echternkamp,S.E. 1982. Hormonal asynchrony and embryonic development. Theriogenolgy 17 : 11.
Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reprodksi Hewan. Mutliara. Jakarta.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar